Quintel Blogger theme

A free Premium Blogger theme.

Rabu, 19 Februari 2014

Aterosklerosis

Aterosklerosis merupakan penyakit pada arteri yang lebih besar. Dimulai pada masa kanak-kanak dengan akumulasi lipid yang terlokalisasi dalam intima arteri yang disebut fatty streak (garis-garis lemak). Sampai dengan usia paru baya beberapa fatty streak ini berkembang menjadi plak aterosklerosis., lesi fokal dimana dinding arteri jelas abnormal. Plak mungkin berukuran beberapa sentimeter, dan paling umum terdapat di dalam aorta, arteri koronaria, dan arteri karotis interna, serta sirkulus willisi. Ciri-ciri suatu plak arterosklerosis yaitu sebagai berikut:
1.    Dinding arteri menebal secara fokal oleh proliferasi sel otot polos intima dan deposisi jaringan ikat fibrosa, yang membentuk suatu selubung fibrosa yang keras. Selubung ini menonjol ke dalam lumen vascular, membatasi aliran darah, dan seringkali menyebabkan iskemia pada daerah jaringan yang disuplai oleh arteri.
2.    Suatu kumpulan lunak dari lipid ekstraseluler dan debris sel berakumulasi di bawah selubung fibrosa (athera=bubur). Penumpukan ini melemahkan dinding arteri, sehingga selubung fibrosa dapat retak atau robek. Akibatnya, darah masuk ke dalam lesi dan terbentuk thrombus (bekuan darah). Thrombus ini, dapat terbawa ke vascular bed aliran (upstream) sehingga menyumbat pembuluh darah yang lebih kecil. Yang kemudian menyebabkan infark miokard jikaterjadi di dalam arteri koroner, atau menyebabkan stroke jika terjadi dalam arteri serebri.
3.    Endotel di atas lesi menghilang sebagian atau seluruhnya. Ini dapat menyebabkan pembentukan thrombus yang terus berlanjut, sehingga menyebabkan oklusi aliran intermitten seperti pada angina tak stabil.
4.    Lapisan sel otot polos media di bawah lesi mengalami degenerasi. Hal ini melemahkan dindingg vaskuler, yang dapat mengembang dan akhirnya rupture.
Pathogenesis aterosklerosis
Resiko perkembangan aterosklerosis sebagian ditentukan secara genetik. Insidensi dari konsekuensi klinis aterosklerosis seperti penyakit jantung iskemik meningkat seiring usia, terutama setelah usia 40 tahun. Laki-laki lebih banyak menderita daripada wanita karena kemungkinan efek protektif dari estrogen. Faktor predisposisinya yaitu merokok, hipertensi, diabetes, dan tingginya kolesterol serum.
Hipotesis mengenai pathogenesis aterosklerosis yang paling banyak diterima adalah bahwa aterosklerosis diinisiasi oleh cidera atau disfungsi endotel. Plak cenderung terbentuk pada area yang memiliki berbagai stress regangan hemodinamik (misalnya ditempat percabangan arteri atau bifurkasi). Endotel rentan rusak pada area tersebut, disfungsi endotel memacu adhesi monosit, sel darah putih yang tertimbun dibawah lapisan monolayer endotel, dan menjadi makrofag. Makrofag dalam keadaan normal berperan penting selama inflamasi, merupakan respon tubuh terhadap cidera dan infeksi. Makrofag melakukan peran tersebut dengan bekerja sebagai sel pengangkut untuk mengangkut sel mati dan benda asing, dan juga melepaskan sitokin dan faktor pertumbuhan untuk memacu penyembuhan. Namun demikian, makrofag dalam dinding arteri dapat teraktivasi secara normal, menyebabkan suatu tipe reaksi inflamasi lambat, yang akhirnya menghasilkan plak lanjut dan berbahaya secara klinis. 
Lesi aterosklerosis memiliki konsekuensi klinis paling penting bila terjadi pada arteri koroner. Lesi dimana selubung fibrosa menjadi tebal cenderung menyebabkan stenosis yang signifikan, atau penyempitan lumen vascular, yang secara bertahap menyebabkan iskemia jantung, terutama saat kebutuhan oksigen miokardium meningkat. Hal ini menyebabkan angina stabil. Pada plak lanjut seringkali terdapat area denudasi endotel yang besar, yang menjadi lokasi pembentukan thrombus. Selain itu, lesi yang kaya lipid dan sel busa biasanya tidak stabil dan cenderung robek serta terbuka. Rupture plak ini mungkin ditolong oleh adanya limfosit T dalam lesi, karena limfosit ini menghasilkan interferon gamma yang menginhibisi pembentukan matriks, dan makrofag, yang menghasilkan protease yang mendegradasi matriks jaringan ikat. Rupture plak memungkinkan darah memasuki lesi, menyebabkan pembentukan thrombus pada permukaan dan / atau dalam lesi, seringkali terjadi pada sindrom koroner akut seperti angina takstabil atau infark miokard. Thrombus kronik nonfatal secara bertahap dapat digantikan oleh jaringan ikat dan bergabung dalam lesi, suatu proses yang disebut organisasi.


Referensi :
Aaronson, P.I. & Jeremy, P.T.W. (2010). At a glance sistem kardiovaskular edisi  ketiga. Jakarta: Penerbit Erlangga

Tao, L dan Kendall, K. (2013). Sinopsis organ system kardiovaskuler pendekatan dengan sistem terpadu dan disertai kumpulan kasus klinik. Jakarta : Kharisma Publishing Group



Efusi Pleura

Menurut Muttaqin (2011) efusi pleura adalah suatu keadaan di mana terdapat penumpukan cairan dalam pleura berupa transudat atau eksudat yang diakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara produksi dan absorpsi di kapiler dan pleura viseralis. Menurut Djojodibroto (2009) akumulasi jumlah cairan pleura di dalam rongga pleura dapat terjadi jika terdapat peningkatan tekanan hidrostatik kapiler darah seperti pada gagal jantung atau jika terjadi penurunan tekanan osmotik cairan darah seperti hipoalbuminemia, juga dapat terjadi jika tekanan di dalam rongga pleura bertambah negatif (turun) seperti pada atelektasis.
Pada paru-paru normal cairan pleura masuk ke dalam rongga pleura dari dinding dada (pleura parietalis) dan mengalir meninggalkan rongga pleura menembus pleura viseralis untuk masuk ke dalam aliran limfa. Tekanan hidrostatik di kapiler sistemik (dinding dada) besarnya 30 cm H2O. Tekanan negatif di dalam rongga pleura adalah -5 cm H2O. Berarti perbedaan tekanan antara kapiler sistemik dan rongga pleura 35 cm H2O. Tekanan osmotik koloid di kapiler sistemik (dinding dada) besarnya 34 cm H2O. Tekanan osmotik koloid di rongga pleura adalah 8 cm H2O. Perbedaan tekanan osmotik koloid antara kapiler sistemik dengan tekanan osmotik koloid di rongga pleura 26 cm H2O. Cairan cenderung mengalir dari daerah bertekanan osmotik rendah ke arah bertekanan osmotik tinggi. Berdasarkan perbedaan tekanan osmotik, seharusnya cairan di rongga pleura cenderung mengalir dari rongga pleura ke dinding dada, akan tetapi karena tekanan hidrostatik dari dinding dada ke arah rongga pleura lebih besar yaitu 35 cm H2O, cairan dari dinding dada akan masuk ke dalam rongga pleura (35 cm H2O-26 cm H2O = 9 cm H2O). 
Pada kasus gagal jantung kiri, penurunan curah jantung menyebabkan peningkatan Left Ventrikel End Diastolik (preload) dan tekanan vena pulmonalis karena darah kembali dalam sirkulasi pulmonal (kongesti pulmonal). Keadaan ini menyebabkan jantung berdilatasi dan peningkatan tekanan kapiler pulmonal memacu terjadinya akumulasi cairan pada jaringan intertisial paru. Peningkatan tekanan kapiler dapat mendorong cairan ke dalam alveoli (edema pulmonal). Peningkatan tekanan pada jaringan paru pada edema paru menyebabkan perpindahan cairan dari jaringan interstitial paru ke rongga pleura. Sehingga penumpukan cairan di rongga pleura menyebabkan akumulasi berlebih cairan pleura hingga 300 mL yang disebut efusi pleura (Pratomo & Yunus, 2013).


Referensi :
Djojodibroto, R. D. (2009). Respirologi (respiratory medicine. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG.

Muttaqin, A. (2011). Buku ajar asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Pratomo, I.P & Faisal, Y. (2013). Anatomi dan fisiologi Pleura. Journal IDI Continuing Medical Education CDK-205/vol.40 no.6, halaman 410-412.


Jenis Obat Asma



      Penatalaksanaan penyakit Asma jangka panjang slah satunya adalah dengan menggunakan obat. Obat Asma sesuai dengan Depkes tahun 2008 dibedakan menjadi 2 yaitu pengontrol (Antiinflamasi) dan Pelega (Bronkodilator). Obat pengontrol asma yaitu obat yang digunakan secara teratur bisa mencegah terjadinya serangan asma. Sedangkan obat pelega (bronkidilator) adalah obat yang meredakan gejala pada serangan asma. Untuk macam-macam jenis obatnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.



Keterangan :
·      IDT      :  Inhalasi dosis terukur = Metered dose inhaler/MDI, dapat digunakan bersama dengan spacer
·      Solutio :  Larutan untuk penggunaan nebulisasi dengan nebuliser
·      Oral      :  Dapat berbentuk sirup, tablet
·      Injeksi  :  Dapat untuk penggunaan subkutan, im dan iv

Referensi :
Depkes. (2008). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1023/MENKES/SK/XI/2008. Pedoman pengendalian penyakit asma. Jakarta : Depkes RI.

Proses Keperawatan Penyakit Asma


1. Pengkajian
a. Data subjektif
Dispnea, pernafasan sulit,dada terasa sesak, nyeri, mengi, ansietas terhadap sufokasi kematian, penurunan toleransi aktivitas, riwayat alergi, batuk episode nocturnal.

b. Data objektif
Awitan mendadak distress pernafasan mengi ekspirasi memanjang periode inspirasi memendek, retraksi interkostal dan sterna, penggunaan otot bantu pernafasan, lapar udara, krekel, bunyi nafas mengi, posisi duduk tegak lurus, condong ke depan, diaphoresis, takikardia, distensi vena leher, sianosis area sirkumoral, batuk kering dan sulit; batuk produktif sulit dilakukan, perubahan tingkat kesadaran, hipoksemia, hipotensi, pulsus paradoksus > 10 mm, dehidrasi.

c. Pemeriksaan diagnostic
1) Laboratorium
Lekositosis dengan neutrofil yang meningkat menunjukkan adanya infeksi. Eosinofil darah meningkat > 250/mm3 , jumlah eosinofil ini menurun dengan pemberian kortikosteroid.

2) Pada pemeriksaan AGD
Hanya dilakukan pada penderita dengan serangan asma berat atau status asmatikus. Pada keadaan ini dapat terjadi hipoksemia, hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Pada asma ringan sampai sedang PaO2 normal sampai sedikit menurun, PaCO2 menurun dan terjadi alkalosis respiratorik. Pada asma yang berat PaO2 jelas menurun, PaCO2 normal atau meningkat dan terjadi asidosis respiratorik.

3) Pemeriksaan Radiologi
Pada serangan asma yang ringan, gambaran radiologik paru biasanya tidak menunjukkan adanya kelainan. Beberapa tanda yang menunjukkan yang khas untuk asma adanya hiperinflasi, penebalan dinding bronkus, vaskulasrisasi paru.

4) Tes kulit (asma ekstrinsik)
Untuk menunjukkan adanya alergi.

5) Uji fungsi paru
Volume paru normal atau meningkat, penurunan VEK, LAEP, AMME VEK, dapat ditingkatkan dengan bronkodilator sebesar 12% atau lebih

6) Hitung darah lengkap dan pemeriksaan sputum
eosinofilia sputum dan darah umum ditemukan, kadar serum IgE meningkat pada asma ekstrinsik.


2. Diagnosa keperawatan
a. Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan batuk, pilek, mengi dan sesak.
b. Pola napas inefektif berhubungan dengan inflamasi saluran napas.
c. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan hipoksemia dan hipoksia
d. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan

3. Intervensi Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas inefektif
    Tujuan : Bersihan jalan nafas menjadi efektif
    Kriteria hasil : Tidak ada secret, suara paru-paru normal
Intervensi :
1. bersihkan jalan nafas (suction)
2. kaji retraksi dinding dada
3. kaji frekuensi pernafasan
4. anjurkan posisi semi fowler
5. kaji suara paru
6. anjurkan pasien minum air hangat
7. monitor pemberian oksigen
8. evaluasi suara paru setelah di suction

b. Pola napas inefektif berhubungan dengan inflamasi saluran napas
    Tujuan : Pola napas menjadi efektif
    Kriteria hasil: Napas adekuat, suara paru normal (vesikuler), pernapasan normal.
Intervensi :
1. Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan dan ekspansi dada.
2. Catat upaya pernapasan termasuk penggunaan otot tambahan.
3. Auskultasi bunyi napas.
4. Anjurkan posisi semi fowler.
5. Berikan oksigen sesuai indikasi.
6. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi.

c. Kerusakan pertukaran gas
    Tujuan : Pertukaran gas menjadi efektif
   Kriteria hasil :Tidak ada indikasi kerusakan system pernafasan, tidak ada sianosis, tidak Nampak pernafasan cuping hidung, hasil AGD dalam batas normal.
Intervensi :
1. Anjurkan posisi semi fowler
2. Auskultasi bunyi nafas pasien
3. Kaji keseimbangan cairan
4. Kaji frekuensi pernafasan
5. Bersihkan jalan nafas (suction)
6. Ajarkan pasien menggunakan inhaler
7. Kaji analisa gas darah
8. Kaji tingkat elektrolit
9. Kaji saturasi oksigen
10. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian sodium bicarbonate
11. Kaji status hemodinamik

d. Intoleransi aktivitas
    Tujuan : Pasien dapat beraktivitas seperti biasa
    Kriteria hasil : Tidak sesak ketika beraktivitas, mampu bergerak aktif
Intervensi :
1. Kaji penyebab kelemahan
2. Kaji pernafasan (frekuensi, adanya sesak dan pucat)
3. Bantu pasien memilih aktivitas yang dapat dilakukan
4. Anjurkan untuk meningkatkan intake nutrisi
5. Kaji respon pernafasan selama aktivitas,
6. Kaji tanda-tanda vital

Referensi :
Carpenito, L. J. (2009). Diagnosis keperawatan aplikasi pada praktik klinis. Jakarta: ECG.

Herdman, T.H. (2012). Nanda international diagnoses : definitions & clasifications. Oxford : Wiley-Blackwell.

ASMA


A. Definisi
     Asma adalah gangguan jalan nafas reaktif kronis termasuk obstruksi jalan nafas episodik dan obstruksi jalan nafas reversible akibat bronkospasme, peningkatan sekresi mucus, dan edema mukosa (kapita selekta penyakit, 2002). Asma adalah sebuah penyakit radang kronik pada saluran pernafasan dimana banyak sel-sel dan elemennya berperan.

    Pada individu tertentu, peradangan menyebabkan beberapa kondisi seperti wheezing, sulit bernafas, retraksi dinding dada, dan batuk sering terutama di malam hari, pagi hari, atau ketika melakukan aktifitas. Beberapa gejala ini dihubungkan dengan penyakit yang menetap tetapi obstruksi saluran pernafasan dan sering reversible secara spontan atau dengan perawatan (Michele Geiger, Bronsky Donna J.W; 2008)

     Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius diberbagai Negara diseluruh dunia. Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas, akan tetapi dapat bersifat menetap dan mengganggu aktivitas bahkan kegiatan harian. Produktivitas menurun akibat mangkir kerja atau sekolah, sehingga menambah penurunan produktivitas serta menurunkan kualitas hidup (Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Asma Di Indonesia, 2008).

   Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran nafas yang menyebabkan hipereaktifitas bronkus terhadap berbagi rangsanan yang ditandai dengan gejala epidosik berulang berupa mengi, batuk, sesak nafas dan rasa berat didada terutama di malam hari dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa pengobatan (Pedoman pengendalian asma, Depkes; 2009)


B. Etiologi
     Sensitivitas terhadap allergen eksternal spesifik atau akibat faktor internal, nonalergenik. Menurut Kapita selekta penyakit edisi 2 tahun 2002, etiologi Asma dibagi menjadi :
1. Penyebab ekstrinsik:
a. Serbuk / partikel
b. Kulit / bulu hewan
c. Debu / jamur rumah
d. Bantal Kapuk / bulu
e. Penyedap / bumbu makanan yang mengandung sulfit dan bahan sensitive lain

2. Penyebab intrinsik
a.Stres emosional
b.Faktor genetik

3. Bronkokonstriksi
a. Predisposisi herediter
b. Sensitivitas terhadap allergen atau iritan seperti polutan
c. Infeksi virus
d. Obat, seperti aspirin, penyekat beta adrenergic, dan obat anti inflamasi nonsteroid
e. Tartrazin
f. Stres psikologik
g. Udara dingin
h. Olahraga

C. Manifestasi Klinis
     Menurut PDPI, Manifestasi klinis pada penyakit Asma yaitu:
a. Bersifat episodic, seringkali reversible dengan atau tanpa pengobatan
b. Gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada dan berdahak
c. Gejala timbul / memburuk terutama malam / dini hari
d. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
e. Respon terhadap pemberian bronkodilator

   Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
a. Riwayat keluarga
b. Riwayat alergi / atopi
c. Penyakit lain yang memberatkan
d. Perkembangan penyakit dan pengobatan.

D. Patofisiologi
      Suatu serangan asma timbul karena seseorang yang atopi terpapar dengan allergen yang ada di lingkungan dan membentuk immunoglobulin (Ig) E, allergen yang masuk akan ditangkap oleh makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting sel (APC), allergen tersebut dipresentasikan ke sel Th. Sel Th memberikan signal kepada sel B dengan dilepaskannya interlukin 2 (IL-2) untuk berproliferasi menjadi sel plasma dan membentuk IgE.
       IgE yang terbentuk akan diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalam sirkulasi. Bila proses ini terjadi pada seseorang, maka orang itu sudah disensitisasi atau baru menjadi rentan. Jika terpapar 2 kali atau lebih dengan allergen yang sama allergen tersebut akan diikat oleh IgE yang sudah ada dalam permukaan mastosit dan basofil. Ikatan ini akan menimbulkan influk Ca++ ke dalam sel dan perubahan di dalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
         Penurunan kadar cAMP menimbulkan degranulasi sel, dan melepaskan mediator-mediator kimia yang meliputi histamine, slow releasing suptance of anaphylaksis (SRS-A), eosinofilik chomotetik faktor of anaphylacsis (ECF-A), dan lain-lain. Mediator tersebut menyebabkan timbulnya tiga reaksi utama yaitu: kontraksi otot-otot polos baik saluran nafas yang besar ataupun yang kecil yang akan menimbulkan bronkospasme, peningkatan permeabilitas kapiler yang berperan dalam terjadinya edema mukosa yang menambah semakin menyempitnya saluran nafas. Peningkatan sekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi mucus. Tiga reaksi tersebut menimbulkan gangguan ventilasi, distribusi ventilasi yang tidak merata dengan sirkulasi darah paru dan gangguan difusi gas ditingkat alveoli, akibatnya akan terjadi hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis pada tahap yang sangat lanjut.

E. Pencegahan
     Menurut Depkes RI tahun 2008 pencegahan penyakit asma dibagi menjadi:
1. Pencegahan primer
    Pencegahan primer ditunjukkan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan resiko asma (orang tua asma), dengan cara:
a.Menghindari asap rokok / pollutan selama hamil atau perkembangan anak
b.Diet hipoalergenik dengan syarat diet tersebut tidak mengganggu asupan nutrisi janin
c.Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan
d.Diet hipoalergenik bagi ibu menyusui

2. Pencegahan sekunder
    Ditujukan untuk mencegah asma yang sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma. Caranya dengan pemberian antihitamin H-1 dalam menurunkan onset mengi dan pada asma kerja ( menghentikan pajanan alergen sedini mungkin).

3.Pencegahan tersier
     Ditujukkan untuk mencegah agar tidak terjadi serangan atau bermanifestasi klinis asma pada penderita yang sudah menderita asma. Contoh caranya yaitu dengan mengontrol lingkungan rumah seperti membersihkan rumah dari debu dan kotoran, mencuci sarung bantal, sprei 1 minggu sekali, jangan membiarkan sampah terbuka, jangan membiarkan ruangan lembab, hindari rokok, ventilasi rumah adekuat, hindari memasak dengan kayu.

F. Penatalaksanaan Asma
     Menurut Depkes RI 2009 penatalaksanaan asma, yaitu:
1. Penatalaksanaan asma akut
    Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah:
a. Bronkodilator (ß2 agonis kerja cepat dan ipratropium bromide)
b. Kortikosteroid sistemik

      Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya ß2 agonis kerja cepat (inhalasi) pada dewasa bisa dikombinasikan teofilin/aminofilin oral. Dosis yang diberikan pada orang dewasa untuk teofilin yaitu 100-200 mg setiap 6-12 jam atau 1-3 mg/kg setiap 8 jam dengan rute per oral. Pada anak-anak Teofilin diberikan secara per oral 50-100 mg setiap 6-12 jam.
       Pada pasien dengan kondisi asma yang sedang diberikan ß2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid oral pada dewasa bisa ditambahkan ipratropium bromide inhalasi, aminophilin IV (bolus/drip) dengan dosis 6 mg/kg.
       Pasien dengan serangan berat sebelumnya kortikosteroid oral (metilprednisolon) diberikan dalam waktu singkat 3-5 hari. Pada serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan IV, ß2 agonis kerja cepat, ipratropium bromide inhalasi, kortikosteroid IV, dan aminophilin IV.

2. Penatalaksanaan Asma jangka panjang
    Prinsip pengobatan jangka panjang :
a. Edukasi
     Peran perawat dalam pemberian edukasi pada penderita asma disini sangatlah penting, terutama pada penatalaksanaan pengobatan asma jangka panjang. Sebagai edukator perawat harus mampu memberikan pengetahuan kepada penderita meliputi :
1) Kapan pasien berobat/ mencari pertolongan jika terjadi serangan asma.
2) Mengenali gejala serangan asma secara dini.
3) Mengetahui obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu penggunaannya.
4) Mengenali dan menghindari faktor pencetus serangan asma.
5) Pentingnya penderita melakukan kontrol secara teratur.

b. Obat asma (pengontrol dan pelega)
c. Menjaga kebugaran
      Sesuai dengan SK Menkes tahun 2008 selain edukasi dan obat-obatan yang diperlukan untuk menjaga kebugaran antara lain dengan melakukan senam asma, sedangkan pada anak dapat menggunakan olahraga lain yang dapat menunjang kebugaran. Dengan melaksanakan ketiga hal diatas diharapkan tercapai tujuan penanganan asma, yaitu asma terkontrol.


Referensi :
Depkes. (2008). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1023/MENKES/SK/XI/2008. Pedoman pengendalian penyakit asma. Jakarta : Depkes RI.

Geiger, M. & Wilson, B.D.J (2008). Respiratory nursing (a core curriculum). New York: Springer Publishing Company.

John, Esther c & Elliott Daly D. (2006). Patofisiologi (aplikasi pada praktek keperawatan). Jakarta: ECG.

Mangunegoro, H. dkk. (2004). Asma pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Williams, Lippincott & Wilkins. (2002). Kapita selekta penyakit dengan implikasi keperawatan edisi 2. Jakarta: EGC.